Bahagia dalam hidup

bahagia

Bahagia dalam hidup

Bahagia dalam hidup – Thank God to give me a wonderful human who bring me to see a beautiful life that I deserved. But why I always make his life hard?

Sebelum 2016 ….

Do I believe in happiness? No, saya selalu ingin bahagia, optimis bahwa Allah akan memberikan kedamaian dalam hati saya dengan kebahagiaan yang tulus suatu saat. Setiap berdoa dan berinteraksi dengan Nya, ketenangan jiwa, itu lah yang saya minta. Ya, bersujud dan mengadu pada Nya merupakan cara saya lari dari rasa sakit. Sakit? bukankah selama ini saya sehat dan penuh tawa?

Keputusasaan, saya tidak meminta hal lain kepada Nya selain diberikan petunjuk yang terbaik dan dihapuskan rasa sakit agar saya tidak selalu menjadi orang munafik. Munafik ? saya selalu percaya kepada Allah dan berusaha tetap dijalan Nya, tapi bukan berarti setan tidak bisa masuk ke dalam diri. Saya hanya ingin lepas dari “sesuatu” yang selalu menarik saya untuk tidak melihat cahaya. Ini adalah ujian dan latihan dari Allah agar saya bisa memahami siapa saya sebenarnya.

Rasanya ingin sekali saya menceritakan sakit apa yang saya alami, tapi bisakah saya keluar dengan mudah jika masuk kembali ke bagian itu?

Apakah kebahagiaan itu ada?

Ketika saya bahagia, itu hanya kepalsuan. Saya bahagia karena saya yang mengatur semuanya hingga semua tampak baik-baik saja dan bahagia. Apa yang orang lain lihat tentang saya? Kuat, selalu bahagia, humble, mampu melakukan semuanya, beruntung karena ada hal yang selalu membuat saya “bahagia”. Mungkin kalian tidak tahu bahwa saya adalah sutradara yang mahir. Hal ini lah yang membuat saya tadi bercerita bahwa saya adalah makhluk munafik. Saya hanya selalu bersembunyi dan berlari dari kenyataan. Saya hanya makhluk yang selalu takut akan semua hal, takut saya terlihat buruk, takut orang akan menilai buruk, dan takut bahwa orang lain akan kecewa. Tapi apa kaliah menyadari bahwa berusaha menghasilkan yang terbaik bisa menjadi suatu racun yang membawa diri kita lupa bahwa hidup kita akan hilang hanya untuk kepuasan orang lain. Racun ini membuat orang sekitar menjadikan kita terlihat sempurna.

“Terimakasih sudah membuat saya bahagia.”

Namun beberapa saat kemudian saya akan merasakan sakit yang tidak bisa dibendung.

“Eh hari ini saya mencapai sesuatu yang baik, saya bahagia.”

Kemudian saya akan mendapat respon, “Eh hari ini saya ada masalah, mohon bantuannya dong, atau minta bantuannya dong karena si A lagi ada masalah.”

Atau keadaan sebaliknya, ” Hari ini saya banyak tekanan, atau sakit, atau ada masalah, saya cape.”

Respon yang akan didapat tetaplah sama “Eh hari ini saya ada masalah, mohon bantuannya dong, atau minta bantuannya dong karena si A lagi ada masalah.” 

Kesimpulannya adalah dunia tidak pernah bertitik focus kepada kehidupan yang saya alami. Sekeras apapun saya menjadi yang terbaik bagi orang lain, hasilnya adalah saya hanya sebagai sumber atas kebahagiaan orang lain bukan diri saya sendiri.

Kembali ke pertanyaan sebelumnya, Do I believe in Happiness? never.

Kebahagiaan hanyalah suatu hal yang perlu ditebus. Sesuatu yang akan ada konsekuensi kebalikan. Bahagia akan diikuti rasa kecewa dan sedih. Pertanyaan lainnya adalah salahkah jika hidup kita tidak memiliki rasa egois sedikit pun? Mengapa selalu kebahagiaan yang palsu yang selalu saya dapat? Mengapa saya tidak bisa melihat ketulusan dari manusia? Perlu saya garis bawahi mengenai siapa saya sebenarnya dan apa yang saya alami, ada satu prinsip yang selalu saya pegang :

“Allah selalu bersama saya, tidak pernah sekalipun saya menggugat Nya, saya hanya selalu bertanya kenapa manusia menyakiti manusia lain tanpa dia sadari. Saya hanya selalu marah dan kecewa terhadap manusia bukan Tuhan.”

Prinsip ini merupakan alasan saya untuk percaya bahwa hidup harus positif dan tidak menyakiti orang lain baik yang terlihat ataupun tidak terlihat dan jangan membalas apa yang orang lain perbuat.

Januari 2016….

“Hai, saya Chandra, boleh chat nya pindah ke Line? “Berlanjut ke beberapa percakapan yang tidak sering.

Pertengahan Januari 2016…

“Hai, Chandra, makan soto yang enak di Jakarta dimana ya? lagi mau makan soto nih.”

“Hai Septi, pulang kerja kita makan soto yu, saya tahu tempat makan soto yang enak. nanti saya jemput pakai taksi. Kirim alamatnya ya.”

Taksi pun datang, waktu itu saya hanya memakai sandal dengan jeans dan blouse simple. Pintu taksi pun terbuka, saya melihat dia tersenyum dan canggung untuk bersalaman saling mengenalkan diri. Saya hanya melihat dia selalu tersenyum dan menelpon temannya, entah karena canggung. Saya hanya merasa dia tersenyum bahagia. Sepanjang perjalanan kita bercanda seperti telah kenal lama. Sopir taksi pun waktu itu berubah menjadi tim suksesnya, entahlah memang sopir taksi itu menyadari bahwa sedang ada pria yang berusaha mendekati perempuan atau memang sudah kehendak Tuhan.

Komitmen

Di malam selanjutnya, berselang beberapa hari setelah pertemuan makan soto, dia mengajak saya untuk berkomitmen, bukan mengajak berpacaran, tapi berkomitmen. Dia berkomitmen untuk menjadikan hubungan yang halal ini paling lama awal tahun selanjutnya. Apakah saya percaya ini nyata? entahlah saat itu saya hanya terbawa kekaguman pada kenyataan ada pria yang memiliki perilaku yang positif. Saya mengakui saat itu saya menahan diri untuk menggunakan perasaan. Dia pun mengetahuinya. Banyak hal yang dia lakukan untuk menunjukan bahwa ketulusan dia memang nyata, namun banyak hal yang saya lakukan justru menyakiti dia. Saya selalu mendorong dia keluar dari hati dan pikiran saya bahwa kebaikan dan kebahagiaan itu ada. Itu lah awal benturan yang saya rasakan, rasanya lebih berat dari sakit yang sebelumnya selalu saya alami, benturan ini lebih berat saya terima. Dorongan rasa positif dan bahagia yang selalu dia berikan membuat saya benar-benar lepas kendali.

Mencari keyakinan

Ya Allah, haruskah saya percaya dengan adanya manusia yang tiba-tiba muncul tanpa alasan dan membuat saya bahagia. Saya hanya tidak mau dia menjadi konsekuensi kebahagiaan saya. Dia terlalu baik untuk menjadi pengorbanan dalam kebahagiaan saya. Kebahagiaan akan memunculkan rasa sakit dan sedih, saya tidak mau dia yang akan merasakan itu. Saya hanya takut engkau akan mengambil kembali kebahagiaan ini.

“Hai septi, salahkah jika Allah memberikanmu kebahagiaan tanpa alasan, kenapa kau harus berburuk sangka kepada Allah, semua orang layak bahagia, masih ada orang yang baik, tidak semua orang jahat, mungkin saya juga tidak sempurna, tapi haruskah kamu selalu meragukan bahwa Allah bias memberikanmu kebahagiaan tanpa alasan? kamu juga layak bahagia.” –  Chandra Pramudya

Melihat cahaya

Saya melihat sedikit cahaya, mungkin memang masih sangat tertutup dan jauh didalam hati saya. Cahaya itu masih sangat jauh untuk saya genggam erat. Tapi, terimakasih ya Allah, engkau membiarkan kali ini saya bahagia tanpa saya harus berusaha mengatur semuanya. Setidaknya kali ini saya tidak membuat kebahagiaan yang palsu.

Mei 2018

“Hei Chandra, gimana kalau saya suka kamu.”

Septi kan memang begitu dari dulu, selalu menahan perasaan. – Chandra Pramudya

“tapi Chandra, apakah selama ini kamu percaya bahwa perasaan saya terhadap Chandra ini tulus.”

Ya saya tahu, walaupun kamu selalu menahan rasa, kamu tetap tulus. –Chandra Pramudya

Thanks GOD for your light.

You don’t deserve this pain

Please follow and like us:
B. Economics MBA-Entrepreneurship Data Analytics Certified Reach me at saraswatisepti@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
Translate »